INGIN KUPERTANYAKAN, APAKAH SUDAH TERLAMBAT MENJADI SEORANG GURU?

Yang kuyakini dari yang kujalani selama ini, bahwa bagaimanapun kesulitanmu jangan pernah melupakan mimpi dan cita-citamu.

Dulu, seorang teman pernah bertanya. "Kamu ingin jadi apa nanti? its mean apa cita-citamu?" Lalu kujawab dengan santai, "Aku ingin jadi Guru" Jawabku. "Lalu aku akan menjadi Dokter" jawabnya setelah itu.

Bermimpi menjadi seorang guru bukanlah tanpa alasan bagiku. Maka dengan ini aku akan mulai bercerita tentang aku semasa sekolah.

Dulu, seorang guru pernah menyentuh hatiku. Beliau adalah Ibu Mawar (samaran). Sebut saja aku bersekolah di sebuah Sekolah Dasar 40 Koto Gadang, sekarang sudah berganti menjadi SD 37 Koto Gadang. Dulu, sekolah ini belum termasuk sekolah yang diunggulkan, sekarang aku yakin sekolah ini sudah lebih baik dari pada semasaku. Pada saat itu, bisa dikatakan aku termasuk anak yang disenangi guru karena setidaknya berada di rangking lima besar. Sekolah kami hanya memiliki lima ruangan kelas, oleh sebab itu kelas 1 dan kelas 2 dibuat menjadi dua sift. Tidakkah ingin tahu bagaimana situasi kelas kami? Akan kujelaskan. Di kelas 5 sampai kelas 6, adalah bangunan baru, kokoh, luas, dan bagus. Termasuk kursi, meja, dan papan tulis. Sedangkan di kelas 1 sampai kelas 4 masih bangunan lama, dinding dan lantai semennya yang sudah retak.

Selain lima ruangan kelas, sekolah kami memiliki ruang kepala sekolah, ruang majelis guru, dan satu perpustakaan. Harus kuakui, dulu perpustakaan kami hanyalah sekumpulan buku-buku lusuh yang penuh debu karena tak satupun siswa yang diperbolehkan untuk masuk ke ruang perpustakaan. Entah apa sebabnya, hingga perpustakaan itu setidaknya bisa dikatakan tempat untuk menyimpan barang-barang bekas (Selain buku pelajaran yang biasa dibagikan di kelas saat jam belajar) jika tidak mau kusebut gudang,.

Baiklah, mungkin saatnya kuakui dosa. Dulu, sewaktu kelas 4 SD saya pernah diam-diam menyelinap ke perpustakaan bersama seorang teman yang ketika itu dia kupaksa menemani. Awalnya dia enggan, katanya, "Nanti kita ketahuan, dan dikira mencuri buku. Kamu mau dibilang pencuri?" Dia mencoba meyakinkanku untuk jangan terlibat masalah. "Tenang saja Kel, kita kan cuma mau liat-liat bukunya. Siapa tahu ada yang bagus. Buku cerita bergambar. Kamu tidak mau menemaniku? Ancamku. Akhirnya dia menyerah. Itu adalah hari pertama saya ke perpustakaan untuk melihat-lihat buku. Hanya melihat, sebab saya pun waktu itu juga takut berlama-lama di sana takut ketahuan penjaga sekolah.
Dihari berikutnya, Keli lagi-lagi kupaksa menemani ke perpustakaan. Dan dia mau. Kali ini aku menemukan buku yang menarik. Oleh sebab ketakutan berlama-lama di sana, akhirnya buku itu kumasukkan ke dalam tas. Dan jadilah buku itu kubawa pulang tanpa ketahuan penjaga sekolah. Kepada penjaga sekolah semasa itu (Almarhum) maafkanlah perbuatan masa kecilku. Seperti itulah, kuharap kalian paham bagaimana situasi sekolah ini semasa dulu. Jika memasuki perpustakaan saja dilarang.

Hanya itulah ruangan yang kami miliki di sekolah, perlu diketahui bahwa kami tidak punya Toilet hanya ada untuk guru, siswa dilarang menggunakannya karena khusus guru, sedangkan untuk siswa kami hanya memanfaatkan sebuh tempat kecil di samping ruang kelas bersebelahan dengan kebun warga setempat. Yang jika kami sedang ingin ke Toilet kami harus bergantian jaga jika ada orang yang mengintip. Bagiku itu berlaku sampai kelas 3 SD selebihnya, aku memilih untuk menahan sampai pulang sekolah. Kira-kira begitulah SD-ku sejauh aku masih bisa mengingatnya.

Kelas 6 SD, Saya beruntung akhirnya bisa bertemu sebagai murid dan guru dengan seorang Ibu Mawar. Perempuan hebat yang telah memacu semangatku. Tahukah, jika hanya seorang Ibu Mawar yang bisa mengenaliku dengan, apa itu buku. Disaat perpustakaan masih menjadi penyimpan buku-buku lusuh dan belakangan dijadikan sebagai ruangan untuk bermain olahraga tenis meja. Dialah yang menjadikan kelas kami, lemari kami sebagai perpustakaan mini. Lemari di kelas kami dipenuhi oleh buku pelajaran bahkan buku bacaan. Dia menceritakan orang-orang hebat yang patut kami idolakan. Dia juga orangnya yang sudah menyadarkanku betapa pentingnya membaca. Bagiku dia bukanlah seorang guru tapi dialah yang sebenarnya pendidik. Aku bangga pernah menjadi muridnya.

Barangkali bisa kukatakan bahwa ia adalah motivasiku menjadi guru.

Tetapi, ketika saya melihatnya, harus kuakui bahwa saya malu untuk bertemu dengannya. Malu pada diri sendiri, malu pada mimpiku. Haruskah kukatakan padanya bahwa saya gagal, untuk menjadi seorang guru. Ataukah harus kuceritakan padanya perihal jalan yang kupilih sehingga bisa mendapatkan pengampunan darinya. Akankah Ia berkata untuk, "Jangan pernah menyerah pada mimpimu!"
Kadang inginku tanyakan padanya, "Apakah ini sudah terlambat?"







Komentar

Postingan Populer