A Novel : Scar Of Love
BAB
I
Satu
Alasan Paling Klasik
Aluna baru saja menyelesaikan
kelasnya lima menit yang lalu. Kali ini ia beruntung sebab hari ini masih bisa
menyesuaikan jadwal kuliah dengan pekerjaan, setelah berminggu-minggu ia tidak
bisa menghadiri kelas karena sedang terlibat dalam sebuah kasus. Akhirnya kasus
itu bisa selesai dengan baik dan ia puas dengan hasilnya. Sejak awal kasus itu
muncul ia selalu mengikuti dan tidak sedikitpun lengah. Tentu saja, ia tidak
mau kejadian-kejadian yang tidak diinginkannya terjadi lagi dan itu di depan
matanya. Lengah sedikit saja, barangkali ia sudah membebaskan seorang perampok
besar lolos dengan mudah atau sama saja dengan membiarkan seorang pembunuh begitu
saja. Baginya, setiap kejahatanpasti ada motif dan setiap motif selalu ada
pemicu.
Seorang penjahat adalah seorang
seniman yang mengambil targetnya dengan sebuah gaya. Tapi percayalah, bahkan
seorang seniman ulung sekalipun tidak pernah menciptakan karya dengan
sempurna.Semakin ulung seniman itu, maka semakin banyak kritikan pada
karyanya.Begitu juga dengan kejahatan, selalu ada kesalahan pada setiap aksi
kejahatannya.Itulah gunanya seorang junalis, detektif, dan anggota kepolisian
karena mereka adalah pengkritik setiap karya kejahatan.Mereka adalah seorang
kritikus kejahatan, itu artinya mereka lebih jahat dari seorang penjahat,
bukan.
Hari ini tidak banyak yang ia
lakukan di kelas, seperti biasa Pak Bagus seperti tiada bosan menyindirnya di
kelas. Lelaki itu berkali-kali mengatakan “Setidaknya kau harus punya ijazah
dulu, baru bisa pekerjaanmu akan dihargai orang. Jika tidak maka cukup kau akan
jadi pesuruh orang sepanjang hidupmu” Lalu ia memandang Alluna dengan tatapan
matanya yang tajam. Iya, ia sadar sekali bahwa ia sudah mengulang tiga kali
untuk mata kuliah yang sama. Dan itu adalah untuk mata kuliah Pers. Ia harus
bertemu sekali lagi dengan Pak Bagus, lelaki tinggi kurus berkepala plontos. Banyak
alasan yang membuatnya tidak lulus pada mata kuliah ini, selain karena Pak
Bagus adalah seorang dosen yang sangat memperhatikan tingkat kehadiran
mahasiswa di kelas juga kerena ia sangat kikir dalam memberi nilai.
Ketika itu, ia harus merelakan
ujian Pers karena sedang ada peliputan dan ia harus melakukan wawancara untuk
salah seorang petinggi pemerintah yang tersandung masalah korupsi. Ia harus
terus mengikuti kasus itu, bukan karena tidak ada lagi wartawan lain yang akan
menggantikannya tapi karena ia sudah terlanjur terlibat, pantang baginya untuk
menyerahkan tanggung jawab pada orang lain. Selain itu, ia juga harus
memastikan dan mencari kebenaran yang sebenarnya. Kini kasus itu sedang
berjalan dan ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), persidangan masih
terus berjalan.Tapi tahukah kau? Sebuah lembaga pemerintahan sekalipun, jika
tidak diawasi oleh media, bisa saja menjadi seorang seniman yang mengambil
targetnya dengan gaya terbaiknya, bukan.
Aluna merasa gerah sendiri
memikirkan Pak Bagus, rasanya ia sudah kehabisan akal untuk merebut hati lelaki
seperuh baya itu. setiap kali ke kampus maka ia harus berhadapan dengan pak
Bagus, selain masih ada satu mata kuliah lagi yang belum lulus, saat ini ia
mulai mengerjakan tugas akhir dan lagi-lagi ia bertemu dengan Pak Bagus sebagai
pembimbing pertama, dan sekali lagi itu adalah kabar buruk baginya.
“Aluna, kamu mau berapa lama di
kampus ini?Tidak malu dengan juniormu?”Ia tidak bosan bertanya itu terus
menerus. Akan tetapi, Pak Bagus adalah satu-satunya dosen yang paling perhatian
pada mahasiswa. Selain tatapan matanya yang mematikan ia adalah seorang dosen
yang baik walaupun tidak pernah memberi nilai mahasiswa lebih dari B.
Barangkali B adalah nilai tertinggi baginya.
“Saya akan lulus tahun ini Pak,
Insya Allah”
“Bagaimana dengan
pekerjaanmu?Kalau kamu ingin jadi jurnalis maka segeralah selesaikan
kuliahmu.Setelah itu, jadilah jurnalis yang hebat.Mengerti kamu? Lagi pula apa
motivasimu menjadi jurnalis? Tak dapat uang, percayalah.Kau hanya dapat
capeknya saja” Mata Pak Bagus membulat meyelidik ke arah Alluna seperti sedang
mencari sesuatu di wajahnya.
“Saya hanya senang mencari suatu
kebenaran” Jawab Alluna asal.Ia tahu sekali Pak Bagus tidak akan terima alasan
se klasik itu.
“Ah, klise sekali alasan
itu.tidak bisakah kau memberiku jawaban yang lebih ilmiah, sebagai seorang
mahasiswa ilmu komunikasi, harusnya kau lebih cerdas lagi menjawab
pertanyaanku. Oh iya, aku lupa. Bahkan kau belum lulus mata kuliahku, bagaimana
bisa kau menjadi seorang jurnalis sedangkan mata kuliah Pers saja kau gagal”
Pak Bagus menohok Aluna dengan kata-katanya yang tajam, seperti biasa. Bahkan
sudah lebih dari empat tahun ini ia mendengar kata-kata itu dan sekarang sudah
masuk tahun kelima.
“Kuulangi pertanyaanku, kenapa
kamu ingin menjadi jurnalis?”Pak Bagus masih saja mempertanyakannya.
Mempertanyakan satu-satunya alasan mengapa ia masih bertahan. Apa yang harus
dijawabnya, haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Andai kau tahu pak, seberapa banyak
yang telah kulalui untuk sampai ke titik ini. Ini adalah satu-satunya alasan
mengapa aku bisa ada di sini, berada
di kota ini, di kampus ini, dan bertemu
denganmu.Alasan itulah yang selalu kupegang teguh.Apakah kau ingin mendengarnya?Mendengar alasanku?Haruskah kisah ini
kumulai?Alluna memandangi balik menatap mata lelaki itu, kali ini tidak ada
lagi rasa takut di sana.
*****
Urusannya di kampus sudah
selesai, obrolan dengan Pak Baguspun diselesaikannya dengan baik. Ah, entah apa
sekarang yang sedang dipikirkan oleh lelaki itu setelah mendengarkan alasannya.
Yang jelas Pak Bagus mempersilahkannya keluar dari ruangan setelah Aluna
menyempaikan alasan itu. Awalnya Aluna tidak habis pikir mengapa obrolan mereka
hanya sampai di situ. Biasanya Pak Bagus selalu akan mengorek informasi dari
setiap apa yang didengarnya. Tapi kali ini ia berbeda. Ia merasa tidak enak
hati pada Pak Bagus karena selalu mendongkol di dalam hati setiap kali
mengingatnya. Tapi mau dikata apa lagi Pak Bagus memang terkenal seantero
kampus sebagai orang perusak mood.
Setelah keluar dari ruangan Pak
Bagus, kali ini ia bergeges ke warung Patua yang berada tidak jauh dari kawasan
kampusnya. Ia hanya akan berjalan ke arah gerbang utama kampus, lalu
menyeberangi jembatan penyeberangan, berjalan sekitar dua puluh meter dari
jembatan lalu ia akan menemui sebuah warung kopi sederhana “Warung Patua” yang
menyediakan berbagai jenis minuman, gorengan, sampai dengan berbagai jenis mie
instan. Warung inilah penyelamat mahasiswa-mahasiswa kere seperti Alluna jika sedang tidak punya uang karena di warung
ini selain murah juga bisa ngutang.
Bertahan hidup di Ibu Kota
tidaklah mudah.Sebagai seorang mahasiswa walaupun sudah bekerja tidak
mumbuatnya lantas bisa aman dari tuntutan perut. Buktinya ia masih saja
kewalahan menutupi kebutuhannya sehari-hari. Hanya pada warung Patualah
satu-satunyaia menggantungkan rasa lapar. Patua adalah orang pendatang di kota
ini, sama seperti dirinya. Kebetulan Patua berasal dari pulau Sumatera, jika Alluna
berasal dari Sumatera Barat sedangkan Patua sendiri berasal dari Sumatera bagian
Utara.Patua adalah orang yang sederhana, punya kepribadian yang
menyenangkan.Oleh sebab itu, warungnya tidak pernah sepi oleh pembeli.Mayoritas
pengisi warungnya adalah mahasiswa karena memang lokasi warung ini lumayan
dekat dengan kampus.Selain itu barangkali tidak ada mahasiswa yang tidak
menyukai Patua.Kepribadiannya yang ramah, bersahabat, dan baik hati juga
menjadi penentu keberhasilannya dalam berdagang. Tapi yang paling penting, ia
adalah orang tua dengan segala perhatian dan semua nasehat-nasehatnya. Patua
adalah satu-satunya pedagang yang paling sering diajak berdiskusi oleh
mahasiswa.
Alluna sendiri pernah
bertanya.“Mengapa Patua senang sekali membicarakan banyak hal?”Ia hanya
menjawab dengan bercanda. “Barangkali karena efek nama yang kupakai saja.Kau
tahu apa arti namaku anak muda?” Alluna menggeleng karena ia juga tidak pernah
terpikir dengan arti nama itu.
“Patua itu adalah petuah.Petuah
itu adalah sebuah nasehat, sebuah jawaban, atau sebuah pendapat. Itulah arti
namaku” Lalu ia tertawa setelah mendengar ocehannya sendiri. “Tapi, percayalah
Aluna.Hanya dengan banyak bicara kamu bisa mengenal orang lebih banyak.Dengan
berbicara pada mereka kamu bisa mengenalnya dengan baik, bukankah begitu anak
muda?”Patua berlalu meninggalkan mejanya setelah melihat ada pengunjung yang
singgah di warungnya.Setelah mendengar Patua menjelaskan arti namanya, Allunapun
teringat akan arti namanya sendiri. Aluna Shafira. Lalu ia tersenyum konyol,
mengenang arti namanya sendiri seperti yang
sering dibicarakan Ibunya dulu.
Sesampainya di warung Patua, ia
memesan Indomie rebus dengan sepiring nasi putih dan teh tawar hangat. Berlama-lama
bicara dengan Pak Bagus membuat tenaganya terkuras lalu ia mulai kelaparan
setelah tadi pagi ia hanya memakan sepotong roti. Seorang pelayan menghidangkan
mie rebus dan nasi putih juga dengan teh tawar hangat yang dipesannya. Entah
sejak kapan Patua mempekerjakan seorang pelayan di warungnya, terakhir ia ke
tempat ini Patua masih mengerjakan pekerjaannya sendiri. Mungkin karena umurnya
juga semakin menua, ia butuh dibantu oleh seorang pelayan sekarang.
“Lahap sekali makan kau anak
muda, padahal hanya semangkuk Indomie yang kau makan, tapi kau seperi sedang memakan
sate kambing saja” Patua tiba-tiba duduk di samping Alluna.Meletakkan nampan
yang dipegangnya di atas meja dan mulai membakar rokoknya.
“Ada apa?Kemana saja kau tidak
pernah singgah lagi ke warung tua ini?”Alluna menelan nasi indomie yang
dikunyahnya lalu menyosornya dengan teh tawar hangat.
“Banyak pekerjaan yang harus
kuselesaikan Patua.Makanya akhir-akhir ini aku jarang ke kampus” Mendengar
ucapan Alluna, Patua mengacak-acak rambut gadis itu.
“Iiihh..Anak ini.Bagaimana bisa
kau meninggalkan kuliahmu hanya karena banyak pekerjaan? Kupikir kau sudah di
DO dari kampus ini karena tidak lulus-lulus. Atau jangan-jangan kau dikeluarkan
karena tidak sanggup lagi dengan biaya uang praktek kau itu. Aku jadi
berandai-andai karena kau, cemas sekali aku tidak bisa melihat kau lulus dari
kampus ini. Apa yang akan kukatakan pada Pamanmu itu nanti kalau kau akhirnya
tidak bisa jadi seorang Sarjana” Patua mengomel pada Alluna layaknya orang tua
sedang menasehati anaknya.
“Tak usah cemas Patua.Harusnya
Patua bangga padaku, karena aku berhasil menangkap seorang penjahat negeri
ini.Patua tidak menonton berita?Aku berhasil menangkap musuh besar Negara ini.
Seorang koruptor” Alluna dengan bangga membela diri, namun siapa yang akan
bangga setelah seharusnya Alluna kuliah dan segera lulus, bukannya malah
menyibukkan diri dengan menangkap musuh-musuh Negara.
“Kau yang melakukannya? Ah, bukan
hanya kau saja yang ada di situ. Masih banyak wartawan lain yang membantu kau.
Tapi aku senang sekali akhirnya dia tertangkap tangan juga. Memang sudah lama
seharusnya dia tertanggap”
“Patua tahu? Akulah yang
mendapatkan informasi itu pertama kali saat dia akan melakukan transaksi itu.
Di saat semua wartawan merasa kewalahan, aku masih punya semangat 45 untuk
menyelamatkan negeri ini dari koruptor. Akhirnya berbondong-bondonglah para
wartawan meliput dan mewawancarai pihak KPK tepat setelah mobil KPK membawa
pelaku dari TKP (Tempat kejadian perkara)” Alluna merasa perlu memberitahu
Patua atas aksi besar yang ia lakukan setelah selama dua hari tidak tidur untuk
mendapatkan informasi yang akurat.
“Iya, iya.Aku akui kau memang
gadis jahat yang menakutkan.Tapi sudahlah, kau hebat sekali kali ini.Ingat, kau
harus lebih memperhatikan kuliahmu mulai sekarang.Lihatlah lingkaran panda di
matamu tidak pernah hilang sejak kau bergabung sebagai wartawan.Dan juga aku
rasa selera berpakaianmu semakin buruk saja.Apakah kemana-mana kau hanya
menggunakan jaket lusuh ini untuk melindungimu dari sengatan matahari saat
berada di lapangan? Ah sudah kuduga, makanya dari dulu kau kusuruh berhenti
saja jadi wartawan. Kalau mau bekerja paruh waktu carilah pekerjaan yang
berduit sedikit untuk bisa membeli baju” Patua benar sekali. Bahkan ia lupa
kapan terakhir kali membeli baju. Alluna melirik ke baju yang ia kenakan.
Sebuah celana jeans yang warnanya sudah mulai memudar.Ia ingat, ia membeli
celana ini sekitar tiga tahun lalu setelah mendapatkan uang honor dari kegiatan
menulisnya di beberapa koran, juga karena Pamannya baru saja berkunjung untuk
melihat keadaan Alluna dan ditinggalkan sejumlah uang untuk Alluna. Oleh sebab
itu ia bisa membeli celana Jeans ini. Dan sebuah kaos oblong biru yang
dibelinya di Pasar Kwitang baru-baru ini.Lalu sebuah jaket Jeans yang sudah
lusuh. Jaket ini dibelikan oleh Ibunya ketika ia masih hidup.
“Patua, apakah aku terlihat
aneh?” Alluna menatap Patua, setelah melirik pakaiannya yang ia rasa memang
aneh.
“Kurasa kau harus mengubah
penampilan kau sekarang.Aku khawatir kau tidak akan dapat pacar jika terus
begini” Patua menggelengkan kepalanya melihat penampilan Alluna dengan rambut
yang diikat asal.
“Patua jangan pergi dulu,
jelaskan apa yang harus kulakukan untuk mengubah penampilanku” Alluna merengek
ke –Patua yang telah beranjak pergi melayani pembeli yang lain. Ia merasa kesal
sekarang juga merasa konyol sendiri dengan tingkahnya. Sedangkan Patua merasa
geli mendengar gadis itu merengek seperti anak kecil, dalam hatinya ia berkata.
Dasar anak bodoh, kau itu sudah terlihat
cantik apapun pakaian yang kau pakai.Kau mewarisi kecantikan Ibumu dengan
sempurna.
Komentar
Posting Komentar