Kepingan Rasa yang Bertaburan (Perempuan-Perempuan Pesakitan)

“Setiap perempuan selalu punya cara untuk menyembunyikan rahasianya, jika kau mau sedikit saja mengoyak dada mereka maka rahasia itu akan menyembur bagai nanah. Setelah itu, silahkan apakah kau mau menelannya atau kau akan tetap membiarkan dadanya koyak begitu saja”

            Aku melihat perempuan itu dua minggu lalu saat pertama kali aku pindah ke kota ini. Rumahku hanya selang beberapa rumah dengan rumahnya. Dia begitu ramah, setiap kali aku melewati rumahnya, ia selalu mengambangkan senyuman terindahnya padaku. Akupun membalasnya dengan senyuman terindah yang kumiliki. Ia memiliki rumah yang cukup besar dan terkesan mewah, sepertinya ia hanya tinggal sendiri di rumah itu. Aku tidak pernah melihat siapapun di rumah itu kecuali dirinya. Kadang aku melihatnya sedang menyirami bunga mawar yang saat itu sedang mekar. Kadang aku juga melihatnya sedang bersenda gurau dengan kucing peliharaannya di teras rumah. Aku selalu mencuri-curi kesempatan untuk bisa berjalan berdua menuju halte bus untuk pergi ke tempat bekerja kami masing-masing. Meskipun aku tak pernah punya keberanian untuk berjalan di sampingnya, mungkin untuk sekadar melihat senyumannya dari samping? Tapi aku tidak cukup nyali untuk itu aku hanya bisa mengikutinya dari belakang, namun itu sudah cukup membuatku senang. Ketika malam tiba, aku sering menyelinap ke luar rumah berharap ia juga sedang menikmati sejuknya angin malam dan indahnya bintang di langit. Pernah beberapa kali aku mendapatinya tengah memandang langit malam. Kadang ia hanya berdiri di  sebuah jendela kaca yang menghadap ke taman bunga mawar miliknya. Entah apa yang ia pikirkan. Hanya saja aku merasa ada sesuatu di balik senyuman indah yang sering kali ia lemparkan padaku.
            Aku terus memperhatikan perempuan itu, mencari tahu segala hal tentangnya. Sampai pada suatu waktu aku tahu ia bekerja pada sebuah production house sebagai script writer. Perempuan itu adalah seorang penulis, selain penulis scenario ia juga seorang novelis. Anna Malisa. Itu nama yang tercantum pada beberapa buku ciptaannya yang telah kumiliki. Berulang kali aku membaca bukunya, kini sudah lebih dari sepuluh bukunya yang kubaca. Hari itu aku pergi untuk menghadiri launching novel terbarunya. Meski aku akan malu jika nanti ia mengenaliku di sana, apakah ia akan berpikir bahwa aku selalu mengikutinya? Ah, apapun yang dipikirkannya aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendapatkan novel beserta tanda tangannya. Atau, barang kali memang benar aku sudah tergila-gila padanya.
Aku tidak tahu apakah para penulis selalu bercerita berdasarkan pengalaman pribadinya atau tidak. Tapi dari buku-bukunya yang kubaca, barang kali  aku tahu bahwa ia perempuan yang penuh dengan pesakitan. Semua buku-bukunya selalu bercerita tentang kisah cinta berdarah-darah. Ah, aku ngeri sekali jika membayangkan itu benar-benar terjadi padanya. Salah satu kutipan dalam novelnya yang kuingat, Setiap perempuan selalu punya cara untuk menyembunyikan rahasianya, jika kau mau sedikit saja mengoyak dada mereka maka rahasia itu akan menyembur bagai nanah. Setalah itu, silahkan apakah kau mau menelannya atau kau akan tetap membiarkan dadanya koyak begitu saja. Dari dulu, aku juga berpikir perempuan dan rahasianya adalah sebuah misteri. Ah, ia memang perempuan cerdas, pikirku. Aku semakin tertarik padanya.
            Weekend ini tidak  ada jadwal apapun. Kegiatanku sebagai juru foto benar-benar sudah menyita waktuku selama sebulan terakhir. Sampai aku memilih untuk menginap di kantor karena deadline pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Kini projek sialan itu telah rampung di tanganku, klienku manggut-manggut dan tersenyum lebar melihat hasil karyaku. Itu artinya ia akan memakai jasaku lagi suatu hari nanti. Aku memutuskan untuk memulai hariku dengan lari pagi. Dan berharap akan melihat perempuan itu lagi nanti, untuk mendapatkan senyuman terindahnya. Untung-untung iapun sedang lari pagi jadi kami bisa bertemu dan saling sapa. Aku berjanji akan menyapanya dan aku akan berkenalan dengannya secara resmi.
****
            Pemuda itu bernama Rais. Ia baru pindah dan menjadi tetangga baruku. Ia menempati rumah yang telah lama dibiarkan kosong oleh pemiliknya karena ditinggal pergi ke Londong. Aku tidak tahu apakah rumah itu ia sewa atau ia beli. Tapi apapun itu aku senang  menyambut tetangga baru itu. Lalu aku tersenyum padanya saat ia tengah sibuk lalu lalang mengangkut barang-barangnya. Ia membalas senyumanku, aku senang. Sepertinya ia seorang fotografer, aku sering sekali melihatnya menggantungkan sebuah kamera di leher. Beberapa kali kami pernah beriringan menuju halte tempat kami naik bus ke tempat kerja. Tapi aku memilih untuk pura-pura tidak tahu kalau ia ada tepat di belakangku. Rasanya aku segan untuk terlihat sok akrab, siapa tahu ia lebih suka menjaga jarak dengan seseorang. Aku tidak tahu di mana kantornya, sebab kita menaiki bus yang berbeda. Tapi yang pasti tempat kerjaku dan dia tidak searah.
            Hari ini launching novel terbaruku. Aku bergegas menuju tempat launching novelku itu. Di antara banyaknya pengunjung toko buku yang sedang antri di depanku, aku melihatnya lagi. Lalu ia menyodorkan novel, sama dengan yang lainnya ia meminta tanda tanganku. Apa ia sama sekali tidak mengenaliku? Ia tidak menyapa, hanya sebuah senyuman yang ia lempar padaku. Akupun balas tersenyum padanya. Setelah sekian lama melayani pengunjung toko, akhirnya waktu yang ditetapkan berakhir. aku beringsut ke luar untuk segera kembali ke kantor, masih banyak lagi yang akan kukerjakan.
            Sebuah mobil Terios hitam telah menungguku di luar. Namanya Darma. Mas Darma mungkin sudah kesal menungguku dari tadi, kami akan makan siang dulu  untuk merayakan novel terbaruku sebelum kembali ke kantor. Mas Darma adalah atasanku di kantor. Ia telah punya istri dan dua anak. tapi aku adalah kekasihnya atau mungkin sebenarnya akulah istrinya.
            “Lagi-lagi novelmu penuh dengan perempuan-perempuan pesakitan” Ia memulai pembicaraan.
            “Memangnya kenapa, Mas?” Aku menatap matanya.
            “Hanya saja aku merasa ada yang mengganjal” Aku tidak menjawab lagi. Apakah dia baru sadar sekarang setelah bertahun-tahun kami bersama? Bahwa hubungan ini memang penuh dengan ganjalan.
            Di saat kami tengah berbincang, aku melihat Rais mengekoriku dengan sudut matanya. Aku tidak tahu apakah pemuda itu selalu memperhatikanku, pun sama saat tengah malam ia menyelinap ke luar rumah, barang kali ia sedang mencari angin segar. Aku melihatnya dari jendela kaca rumahku. Apakah ia juga melihat Mas Darma pada malam itu?
****
            Aku semakin penasaran pada perempuan itu. apa yang sebanarnya ada di dadanya? Sekali waktu aku pernah mendapati perempuan itu menangis sesedu di taman bunga mawar miliknya. Pikirku, mengapa ia masih berada di luar selarut ini. Ingin rasanya aku mendekati dan memegang pundaknya. Tapi aku tidak punya nyali, aku hanya memperhatikannya dari jauh.
            Seminggu ini aku gelisah, apa yang harus kuperbuat? Ada satu dorongan di dalam diri agar aku segera menemui perempuan itu dan mencoba pelan-pelan mendekatinya. Namun bagian dari diriku yang lain seperti menarikku. Buat apa kau pikirkan seorang perempuan? tidak ada gunanya memikirkan perempuan. Ingatkah kau rasa sakit itu? Ah, sudahlah. Perempuan yang amat kau benci justru Ibumu sendiri, bukan?
            Bagian dari diriku ini, mengingatkanku kembali pada perempuan itu, Ibu. Aku menyebut bagian ini sebagai the ex of me. Aku akan mengenang lagi perempuan itu setiap kali aku ingin berkenalan dan berniat memulai sebuah cerita dengan seseorang. Ialah Ibu yang telah menggoreskan cerita pilu dalam perjalanan hidupku. Ibu yang telah memberiku pengertian lain tentang perempuan. Kupikir, di dunia ini semua perempuan sama seperti Ibu. Seorang Ibu rumah tangga yang sangat pandai dalam segala hal. Ibu sangat pintar, mulai dari mengatur keuangan keluarga, sampai pada tetek bengek tentang pekerjaan rumah tangga. Bagi Bapak, Ibu adalah wanita cerdas yang sangat cantik dan telah memberinya satu anak.
            Bagiku Ibu adalah perempuan yang tidak punya hati. Atau malah sebanarnya Ibu adalah perempuan yang punya banyak hati? Karena ia mencintai dua pria. Pak Supriadi, adalah teman semasa kecil Ayahku. Dari kecil aku sudah sangat mengenal cinta dan penghianatan. Aku lupa sejak kapan awalnya aku menyadari hubungan yang tidak pantas antara Ibuku dan Pak Supriadi. Yang kuingat sejak aku masuk sekolah dasar, Pak Supriadi sering menjadi orang yang menjemputku pulang sekolah. Lalu setelah itu Pak Supriadi mampir ke rumah, Ibu membuatkan segelas kopi untuknya, lalu aku disuruh masuk kamar. Begitulah setiap hari ketika Bapak pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Sampai aku beranjak dewasa dan mengerti bagaimana hubungan mereka. Ibu tidak pernah sekalipun membuat Ayah curiga, ia sangat pandai menjaga semuanya menutupnya rapat-rapat. Berkali-kali aku bicara padanya untuk menghentikan apa yang ia lakukan tapi Ibu bilang, tidak bisa. Aku ingat sekali apa yang ia katakan.
“Nak, kelak semoga kau tidak akan pernah bertemu perempuan seperti Ibumu. Cinta yang Ibu punya sungguh suci, nak. Ibu tidak mampu membendungnya”
“Persetan dengan cinta Bu, tidak tahukah Ibu bagaimana jika Ayah tahu kelakuan Ibu?” Aku menghardiknya keras waktu itu. Aku sering sekali membentak Ibu. mungkin aku anak yag durhaka baginya. Tapi hatiku sungguh tidak bisa terima, aku benci kelakuan Ibu. Sampai ia menghembuskan napas terakhir, ia masih tetap menggenggam cinta yang menurutnya suci dari pada air sungai gangga. Ia mati sebagai istri Ayah dan sebagai Ibuku. Di hari pemakamannya kulihat lelaki itu datang, Pak Supriadi. Aku ingin menghajarnya, tapi Ayah menghalangiku. Kau telah banyak berdosa pada Ibumu, izinkan dia pergi dengan tenang. Sampai saat ini aku tidak pernah tahu apa alasan Ibu dan apa alasan Ayah.
Itulah yang dilakukan oleh the ex of me  setiap kali aku ingin memulai suatu hubungan dengan seorang perempuan. Ia selalu mengingatkanku pada Ibu. Sehingga aku tidak pernah sekalipun punya seseorang di dalam hidupku sampai umurku 32 tahun saat ini. Hari-hariku benar-benar hampa, bahkan aku berniat untuk menghabiskan  seluruh hidupku untuk pekerjaan. Luka di hati tidak benar-benar bisa sembuh meskipun aku telah mengobatinya dengan berbagai cara. Selama ini aku mencoba mencari sesuatu yang bisa kujadikan pegangan, aku melalang buana kemana kaki melangkah. Semenjak kepergian Ayah tidak ada lagi yang bisa membuatku bertahan. Setelah bosan di suatu tempat aku berpindah ke tempat lain. Itu yang terus kulakukan hingga aku berada di tempat ini sekarang. Bertemu dengan seorang perempuan bermata sendu yang sering memberiku senyuman.
****
Ya Tuhan, seberapa banyak dosa yang telah kuperbuat? Aku merasa jijik dengan perempuan di dalam kaca itu. tidak bisakah wajah ini memberiku kisah cinta yang indah? Yang bisa kuceritakan pada anak cucuku nanti. Seperti kebanyakan perempuan yang menginginkan kisah cinta yang indah, seorang lelaki akan datang menikahinya, membangun sebuah rumah tangga, dan mempunyai anak-anak yang lucu. Aku juga salah satu dari kebanyakan perempuan itu, aku juga menginginkannya.
Aku mengenal Darma 7 tahun yang lalu. Saat aku memulai pekerjaan pertamaku disebuah production house. Dia adalah seniorku waktu itu. aku terkesan padanya saat pertama kali kami bertemu, ia bayak sekali membantu dalam pekerjaan. Lalu kami menjadi semakin dekat hingga akhirnya aku menjadi kekasihnya. Pada saat itu ia mengaku masih sendiri. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sudah bekeluarga, ia memperlakukanku sebagai seorang perempuan. Aku mulai mencintainya dan semakin mencintainya. Sampai pada suatu malam aku menyerahkan semuanya untuknya. Iya, aku menyerahkan kegadisanku untuknya karena aku percaya bahwa ia juga mencintaiku dan ia berjanji akan menikahiku.
Tahun-tahunpun berjalan. Seorang perempuan muncul dalam hidupku. Anita namanya, ia terlihat lebih muda dariku. Ia menemui Mas Darma dengan dua orang anak kecil. Lama sekali mereka bercakap di ruang tunggu, aku memperhatikannya dari jauh. Lalu seorang anak kecil mendekatiku, ia berlari padaku dengan refleks aku menangkapnya, dan ia pun jatuh di pangkuanku. Dalam  mata anak itu aku melihat mata Darma di sana. Ya Tuhan, perasaan macam apa ini? Apa yang telah kulakukan pada perempuan itu? Mungkinkah? Siapa Darma sebenarnya? Perempuan itu mendekatiku, ia mengambil anak kecil yang ada di pangkuanku.
“Maaf, Mbak. Aduuhh… Rayhan. Kenapa lari-lari? Ayo minta maaf pada tantenya” Perempuan itu punya tutur kata yag lembut, santun, dan cantik.
“Oh. Tidak apa Mbak, namanya juga anak kecil. Dari mana Mbak?” Tanyaku penasaran.
“Oh. Iki lho Mbak, aku baru sampe Jakarta dari Solo. Aku langsung menemui suamiku di sini. Anak-anak kataya sudah kangen karo Bapak. Itu suamiku, insyaallah kami tidak akan berjauhan lagi. Aku akan menetap di Jakarta bersama suami dan anak-anak” Ia menunjuk suaminya dan juga kekasihku.
Aku berbalik sambil memegangi jantungku yang baru saja tersayat-sayat berdarah berderai-derai. Ini keterlanjuran paling hebat dalam hidupku. Terlanjur benar-benar mencintai lelaki yang telah beristri. Beberapa kali pernah kucoba menghentikannya karena aku merasa kasihan pada istri dan anak-anaknya juga kasihan pada diriku sendiri. Tapi ternyata aku tidak bisa, cinta ini lebih suci dari pada air di sungai gangga, barang kali begitu, pikirku. Aku semakin menyakiti diriku berkali-kali hingga aku tidak tahu lagi apa bedanya. Apakah aku benar-benar menikmati atau justru aku semakin sengsara.
Malam ini Darma janji akan datang. Aku sudah menunggunya selama dua jam di teras rumah. Berkali-kali kulihat ponsel, tidak ada satupun kabar darinya. Ini memang sering terjadi, berkali-kali. Aku tidak heran lagi mengapa ia sampai setelat ini. Barang kali masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya dulu, atau barang kali ia terjebak macet? Tapi ini sudah tengah malam, jalanan  pasti sudah lengang tidak mungkin macet. Atau barang kali anaknya melarangnya untuk keluar semalam ini. Tapi bukankah anak kecil sudah tidur semalam ini? Pertanyaan-pertanyaan sudah memenuhi kepalaku. Lalu aku terduduk simpuh di taman bunga ini dengan menggenggam hati yang remuk. Ia tidak datang.
****
Dia pikir aku tidak tahu apa yang dilakukannya di luar sana. Dia pikir aku perempuan lugu yang dengan mudah ia bodohi. Mungkin aku memang perempuan kampung, tapi aku bukan perempuan bodoh. Dia pikir, mungkin aku tidak tahu bahwa setiap malam ia merangkak dari tempat tidur mencari ponselnya dan menelepon seseorang. Aku juga tahu apa yang dilakukannya saat ia bilang, Papa tidak bisa pulang malam ini Ma. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Aku sangat tahu apa yang ia lakukan dengan perempuan itu. Perempuan berwajah teduh yang kutemui di kantor suamiku. Aku tidak menyangka perempuan itu adalah kekasih suamiku. Sampai ketika kutemukan sebuah foto di dalam diari suamiku. Awalnya aku tidak berani menyentuh meja kerja suaminya, tapi hari itu sebuah kekuatan mendorongku untuk melihat apa saja kegiatannya dan seberapa berat pekerjaannya. Tapi sebuah kenyataan lain mengejutkanku.
Aku mencoba untuk tetap bertahan setidaknya aku bertahan untuk anak-anakku. Dadaku remuk setiap kali ia mengacuhkan aku. Jantungku benar-benar berdarah saat ia berada di luar rumah, bekerja di kantor yang sama dengan kekasihnya. Dadaku koyak bagai dicabik-cabik. Aku benar-benar sakit, sungguh. Aku berpikir seberapa jauh lagi aku bisa bertahan, berapa lama lagi aku harus menyakiti hatiku.
Sampai pada malam ini. Sebagaimana disetiap cerita yang selalu punya klimaks. Maka inilah klimak dalam perjalanan cintaku. Tumben sekali ia pulang kantor sesore ini, tapi aku senang ia pulang lebih awal. Aku mencoba bermanja dengannya dan kedua anakku juga ikut membuat suasana menjadi lebih ceria. Aku mencoba menghilangkan semua rasa benciku. Setelah anak-anak tertidur dipangkuan kami, suamiku mulai bicara.
“Aku telah memikirkan ini jauh sebelumnya”
“Memikirkan apa?” Aku menatap matanya.
“Aku memiliki seseorang selain kamu”
“Perempuan itu?” Ia kaget mendengar jawabanku.
“Kamu tahu?”
“Apa kau pikir aku perempuan bodoh?” Luka itu kini koyak sudah, jantungku yang bernanah-nanah kuberikan padanya.
“Aku telah banyak berdosa padamu, aku seperti dikejar-kejar dosa setiap saat. Tapi mencintai perempuan itupun tak bisa kuhentikan. Apa yang harus kulakukan?” Aku hanya diam dan membiarkannya melihat isi jantungku yang bernanah.
“Apa yang akan kau lakukan? Bisakah kau menelan semua lukaku atau kau akan tetap membiarkan jantungku koyak berlumuran nanah?”
****
Ini adalah hari kesekian aku tidak lagi melihat perempuan bermata sendu itu. Kemana dia? Padahal aku sudah memaksakan the ex of me untuk bisa menerima perempuan itu. Aku ingin memulai sebuah hubungan dengan seorang perempuan. Aku rasa dia orang yang tepat. Tapi berkali-kali aku melewati rumahnya, tidak pernah lagi tampak ia sedang menyiram bunga atau sedang bersenda gurau dengan kucingnya. Rumah itu kini sepi, terakhir kali aku lihat ia menangis sesedu seperti sedang meratapi sesuatu. Apa yang terjadi setelah itu? Aku menyesal sekali tidak menghampirinya malam itu.
****

Malam itu akhirnya Darma datang setelah aku kelelahan menunggu. Namun ia hanya datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia bilang ia dan istrinya akan pulang ke kampung. Ia akan mendirikan sebuah usaha di sana. ‘aku telah banyak berdosa, anakku sudah semakin besar, aku tidak mau ia nanti tahu bagaimana kelakuan Papanya. Aku tahu kamupun merasa sangat berdosa. Tapi kita sama-sama tidak bisa mengakhirinya. Kini aku yang akan mengakhirinya lebih dulu karena aku yang telah memulai semuanya. Pergilah kemanapun hatimu mau, jangan pernah mengingat aku dan semua kenangan tentangku. Aku melepaskanmu, raihlah impianmu, dan dapatkan seseorang penggantiku yang lebih baik. Aku tidak akan merindukanmu begitupun kau’. Lalu ia berlalu begitu saja. Dan aku tidak sedikitpun menangis.

Komentar

Postingan Populer